PENGARUH ISLAM DI SAPARUA

Oleh: Drs. Ali AR Holle, MA.

Sekitar 600 tahun dari kerasulan Muhammad saw atau menjelang berahkirnya kekuaasaan daulat Abbasiyah di Baghdad, Islam sudah ada di bumi Saparua dibawa oleh para mubaligh utusan khalifah An Nasir (khalifah Abbasiyah ke 34) yang berkuasa dari tahun 1180 – 1225 M. Para mubaligh utusan khalifah tersebut, dipimpin oleh dua ulama besar, yaitu :

  1. Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana, berasal dari Bagdad Iraq, (mendapat gelar Sayyidina Baraba).
  2. Zainal Abidin Al-Idrus, berasal dari Bagdad Iraq, (bergelar Somallo )

Mereka mendarat di pulau Saparua sekitar awal tahun 1212 M. Sesampainya di sana, segera membaur dengan penduduk setempat dan menetap di Elhau (wilayah negeri Siri Sori Islam sekarang)

Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana menikah dengan Nyai Marauta adik dari raja Pati Kaihatu dari negeri Oma pulau Haruku, dikaruniai 5 orang anak empat putra dan satu putri. Beliau berhasil meng-Islam-kan negeri Oma. Anak cucunya bermarga / fam Wattiheluw dan Toisuta di Siri Sori Islam, serta Latuconsina di pulau Haruku.

Zainal Abidin Al-Idrus menikah dengan Nyai Wasolo putri Paku Alam dari Kraton Solo, dikaruniai seorang putra bernama Bahrun. Anak cucunya bermarga / fam Holle di Siri Sori Islam, Latin di Hila dan Lesteluhu di Tulehu Ambon dan juga Litiloli di Kulur dan Iha.

Para ulama dari Baghdad itulah yang pertama kali memperkenalkan agama Islam di pulau Saparua dan pulau-pulau sekitarnya.

Setelah keduanya (Abdurrahman Asagaf dan Zainal Abidin Al Idrus) keluar dari Saparua akibat perang antara Uli lima dan Uli siwa (Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate), maka misi Islam dilanjutkan oleh seorang ulama dari Timur Tengah lainnya yang oleh masyarakat Saparua menyebutnya dengan Hijratuddin (wafat di Siri Sori Islam pada tahun 1286 M).

Beberapa puluh tahun kemudian datang seorang Ulama’ dari Tuban Jawa Timur bernama Abdullah, mendapat gelar Sopaleu. Lalu sekitar akhir abad ke 15 M datang mubaligh dari Aceh bernama Tengku Umar dan mubaligh dari Cina bernama Mahuang masyarakat ketika itu menyebutnya Upuka Mahuang. Mereka menyiarkan Islam di Saparua, Haruku, Seram dan Ambon.

Berkat kegigihan dan ketekunan para mubaligh tersebut dari masa kemasa dalam menyiarkan agama Islam, akhirnya pada abad ke 16 M, 90 tahun sebelum Portugis menduduki Saparua, Islam dianut oleh hampir seluruh penduduk, karena itu kerajaan Iha dan kerajaan Honimoa menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan setelah raja dan rakyatnya memilih untuk menganut agama Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, dua Kerajaan Islam tersebut masuk dalam kelompok Ulilima yang merupakan satuan persekutuan adat yang mengakui Sultan Ternate sebagai kesultanan pelopor, Ada juga yang masuk kelompok Ulisiwa yang merupakan satuan  persekutuan  adat  yang  mengakui Sultan Tidore sebagai kesultanan pelopor. Dengan demikian betapa besarnya pengaruh Kerajaan / Kesultanan Ternate dan Kerajaan/ Kesultanan Tidore di daerah Maluku pada saat  itu.

Adanya dua Kerajaan Islam tersebut (Iha dan Honimua), menunjukkan Agama Islam di pulau Saparua pada masa itu, diperkirakan sudah dianut oleh 99,99 % penduduk sedangkan sisanya 0,01 % masih menganut kepercayaan animisme. Mereka yang menganut kepercayaan animisme ini semuanya berada di wilayah kerajaan Honimoa sedangkan untuk kerajaan Iha seluruhnya sudah menganut agama Islam.

 

SEBAB PERMUSUHAN TERHADAP BELANDA DI SAPARUA

Oleh: Drs. Ali AR Holle, MA

Sejak awal abad ke 17 M, masyarakat Muslim Saparua telah menunjukkan permusuhannya terhadap Belanda. Permusuhan itu ditunjukkan dengan keikutsertaannya dalam membantu saudara-saudara mereka sesama muslim pada :

  1. Perang Hoamual (1625 – 1656) di pulau Seram bagian Barat, tepatnya di sekitar desa Kambelu.
  2. Perang Alaka (1625 – 1637) di pulah Haruku bagian Barat tepatnya antara desa Rohmoni dan Kabau sekarang.
  3. Perang Hitu (1633 – 1643) di pulau Ambon bagian Utara.

Keterlibatan umat Islam Saparua dalam perang-perang tersebut adalah untuk menghancurkan Belanda yang karena sikapnya tidak berbeda dengan Portugis.

Kebencian rakyat (umat Islam) Saparua terhadap Belanda makin bertambah karena mereka tidak rela dengan sikap monopoli yang dijalankan  serta membantu para Pendeta Belanda dalam menjalankan tugas penginjilan terhadap negeri-negeri Islam di Saparua. Karena itu Belanda sangat tidak senang kepada orang Islam Saparua. Belanda menganggap orang Islam Saparua suka melawan dan sulit untuk ditaklukkan. Belanda selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk menaklukkan Umat Islam Saparua namun selalu gagal karena mendapat perlawanan. Akhirnya dizaman kekuasaan Gujsels Gubernur Ambon yang keenam, kedua kerajaan itu dapat ditaklukkan dengan lebih dulu Belanda mengirimkan bantuan dari Batavia dengan membawa senjata berat dibawah pimpinan Admiral Anthoniasz.

Runtuhnya kedua Kerajaan Islam tersebut karena di samping Belanda mengirimkan pasukan secara besar-besaran ke wilayah itu, juga Belanda dapat memanfaatkan orang-orang yang berhasil dipengaruhi  seperti  Sasabone dari desa Tuhaha  dan Toupessy dari Ullath. Keduanya merupakan kaki tangan Belanda yang sangat berperan dalam mematahkan perlawanan umat Islam Saparua.

Karena itu keduanya mendapat hadiah kutukan dari leluhur Muslim Saparua sehingga keturunan dari kedua marga ini kurang berkembang bahkan marga Toupessy jarang dijumpai di Saparua.

Kutukan leluhur Muslim terhadap kedua penghianat tersebut diabadikan dalam kapata atau nyanyian adat  Saparua sebagai berikut:   

“Sasabone kutuke,

 Toupessy tobate,

 puna leka AmaIHAL

”Artinya :

Terkutuklah Sasabone dan Toupessy, Kamu berdualah yang menyebabkan hancurnya Islam Amaihal (Saparua).

Setelah hancurnya pusat dua kerajaan Islam itu, maka sebagai gantinya, Belanda membangun sebuah kota lain di tengah-tengah pulau yang penduduknya telah berhasil dipengaruhi untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya. Kota itu, menggunakan nama yang sama dengan nama pulaunya yaitu kota Saparua.

Dengan menguasai seluruh pulau Saparua, Belanda makin meningkatkan praktek Kristenisasi terhadap negeri-negeri Islam serta mengadakan monopoli perdagangan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Portugis, sehingga membuat masyarakat (kaum muslim) Saparua makin benci terhadap Belanda. Setiap adanya bahaya yang ditimbulkan oleh Belanda yang berupa penindasan dan pemurtadan, seluruh rakyat dari pusat kedua kerajaan Islam tersebut selalu menyingkir kegunung sebagai mana yang pernah dilakukan oleh leluhur mereka di  zaman  pendudukan Portugis.  Belanda  hanya dapat memurtadkan mereka yang tidak sempat menyingkir dengan cara licik, seperti pemaksaan, penipuan dan lain sebagainya, dengan kata lain Belanda menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Keadaan umat Islam Saparua pada saat itu ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Keadaannya tidak pernah berubah bahkan lebih menderita bila dibandingkan di masa pendudukan Portugis. Umat Islam Saparua makin tidak berdaya, wilayah kekuasaannya dibagi-bagikan kepada mereka yang telah berhasil dipengaruhi, mereka diwajibkan untuk menganut agama yang dibawa Belanda, akibatnya beberapa negeri Muslim berhasil di Kristenkan dengan cara paksa; seperti negeri Ullima di kerajaan Iha yang kemudian dijuluki dengan “Iha Maane Hahu” artinya orang Iha yang mau makan babi, orang Belanda menyebutnya dengan Ihamahu maka sampai sekarang dikenal dengan desa Ihamahu. Disamping berhasil mengkristenkan penduduk Ihamahu, juga berhasil mengkristenkan sebagian dari penduduk negeri  Siri Sori di kerajaan Honimua yang tidak sempat menyingkir ke gunung disaat Belanda memasuki desa tersebut akibatnya penduduk negeri tersebut pecah menjadi dua, sebagian besar penduduk yang mempertahankan ke Islamannya disebut Siri Sori Islam dan sebagian kecil yang berhasil di Kristenkan disebut Siri Sori Sarani (Nasrani). Sedangkan desa Kulur yang merupakan bagian dari kerajaan Iha yang pada mulanya menempati Pia, dipaksa meninggalkan desa mereka untuk menempati daerah kering dan berbatuan disebelah Barat Laut pusat kota kerajaan Iha dengan harapan agar hidup mereka makin menderita akibat dari menolak ajakan penguasa Belanda untuk menganut agama Kristen. Sedangkan wilayah mereka (Pia) Belanda berikan kepada sebagian kecil penduduk Siri Sori Sarani untuk menempatinya sampai sekarang.

Krestenisasi bukan hanya terhadap umat Islam Saparua tapi juga terhadap Umat Islam pulau Haruku seperti negeri Oma dan Hulaliw. Penduduk Oma yang mempertahankan ke-Islamannya menyingkir ke desa Tulehu pulau Ambon dan disana mereka digabungkan dengan marga / fam Nahumaruli.  Bukan hanya itu saja, desa Wai dan Suli di pulau Ambon tidak luput dari Krestenisasi.

Kesewenang – wenangan Belanda terhadap umat Islam Saparua, menyebabkan mereka mengalami penderitaan yang luar biasa. Maka untuk mempertahankan ke-Islamannya sebagian umat Islam dari wilayah Kerajaan Iha mengungsi ke Seram Barat dan menetap disana sampai sekarang dengan menggunakan nama negeri / desa; Iha dan Kulur, mengambil dari nama negeri kekuasaan Kerajaan Iha di Saparua. Sedangkan rakyat  Siri Sori dari Kerajaan Honimua menghindar dengan jalan  menyingkir  ke gunung-gunung.

Praktek Kristenisasi di Saparua yang dijalankan Portugis dan dilanjutkan Belanda yang dimulai pada tahun 1570 M itu, baru berakhir setelah Indenburg (Gubernur Jederal Hindia Belanda th.1899 – 1906) melaksanakan Politik Etis di tahun 1901. Dengan demikin praktek Kristenisasi di Saparua berjalan selama 330 tahun. Akibatnya jumlah umat Islam Saparua yang pada tahun 1500 M sudah mencapai 99,99 %, merosot tajam hingga tinggal tidak lebih dari 15 %. Maka tidak heran, sebagian orang Islam dan orang Kristen  di Saparua memiliki marga / fam yang sama, seperti; Haulussy, Hehakaya, Holle, Luhulima, Patty, Pelupessy, Sahupala, Saimima, Sopaheluwakan, Sopamena, Toisuta dan lain sebagainya, mereka itu berasal dari satu leluhur Islam dan mereka masih tetap merasa bersaudara dengan lainnya. Ada juga yang bermarga Kesauliya, leluhur mereka pada zaman dahulu beragama Islam yang nama Islamnya ”Kisa Auliya”. Karena pengaruh Belanda ia rela melepaskan mahkota ke-Islam-an yang berupa ikat kepala dengan kain berwarna putih sebagai lambang ke-Islaman ketika itu yang pelepasan tersebut dalam bahasa adat Saparua disebut dengan “Kisyi wuli”. (= terlepas dari kepala) maka mulai saat itu ia tidak lagi dipanggil dengan namanya sendiri (Kisa Auliya’) tetapi nama itu diplesetkan menjadi “Kisyiwuliya” (= terlepas dari kepalanya) Belanda menyebutnya ”Kesauliya”. Julukan tersebut kemudian menjadi nama marga / fam bagi keturunannya.

 

PECAHNYA PERANG TAHUN 1817 DI SAPARUA

Oleh: Drs. Ali AR Holle, MA

Praktek Kristenisasi yang dijalankan Balanda di Saparua sampai tahun 1817, sangat dirasakan oleh seorang Ulama, penyiar agama Islam di wilayah Seram Selatan dan Saparua, mantan perwira angkatan perang Inggeris dengan pangkat Kapten, putra Latu yang lebih dikenal dengan panggilan Mad Lussy, nama lengkapnya  Ahmad Lussy  yang pada saat  itu berada di Latu, Seram Selatan. Beliau menerima informasi mengenai perkembangan Kristenisasi tersebut dari seorang teman yang berasal dari desa Titawai pulau Nusalaut, bermukim di Saparua, Thomas Hehanusa namanya, kemudian diganti dengan Sinene Hehanusa setelah menjadi seorang muslim lalu hijrah ke Latu untuk berjihad melawan Belanda dan mendapat gelar kapitan Latuleanusa. Beliau (Thomas Hehanusa) juga menginformasikan kristenisasi di Saparua kepada Umar Lesy di pulau Ambon dan Matualesy di pulau Haruku.

Demi mempertahankan aqidah Islamiyah di bumi Saparua, Umar Lesy, Matualesy dan Ahmad Lussy mengumpulkan kekuatan pasukan di daerah masing-masing agar segera mengadakan penyeberangan ke Saparua untuk bergabung dengan para mujahid di pulau tersebut guna mengadakan perlawanan terhadap Belanda demi mempertahankan Aqidah Islam di Bumi Saparua.

Pasukan dari Ambon dan Haruku masuk pulau Saparua melalui hutan Porto, di sana mereka menghancurkan sebuah pos Belanda yang ada ditempat itu kemudian melanjutkan perjalanannya menuju kota Saparua melewati Waisisil, sedangkan pasukan yang dipimpin Ahmad Lussy menyeberang ke Saparua melalui pantai Kohu yang terletak di dusun Pia sekarang. Dari Kohu mereka (Ahmad Lussy bersama pasukan) menuju Kota Saparua melalui gunung Saniri. Di gunung ini sekitar jam 12.30 waktu setempat, mereka merebut sebuah pos Belanda, penjaganya dibunuh kemudian dicincang-cincang, karenanya gunung tersebut dinamakan gunung Farkadel (peristiwa itu terjadi pada hari Rabu 14 Mei 1817 M bertepatan dengan 27 Jumadil Akhir 1232 H). Ahmad Lussy bersama pasukan meneruskan perjalanan menuju Kota Saparua yang ketika itu menjadi pusat pertahanan Belanda. Sesampainya di sana, pasukan Ahmad Lussy, Umar Lesy dan Matualesy segera bergabung untuk mengadakan pertemuan dengan kelompok  mujahidin setempat pimpinan Sarasa Sanaky Tepasiwa yang dikenal dengan panggilan “Sayyid Perintah” = tuan pemimpin (karena beliau adalah satu satunya pemimpin yang memerintah pasukan untuk menyerang pertahanan Belanda dari arah Siri Sori Islam). Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat untuk mengadakan serangan kepusat kekuasaan Kolonial Belanda di Benteng Duurstede pada hari Jum’at 16 Mei 1817 M / 29 Jumadil Akhir 1232 H, serta menunjuk Ahmad Lussy sebagai panglima  perang. Maka  dengan pengalaman beliau sebagai mantan Perwira Angkatan Perang Tentara Inggris, seusai shalat Jum’at memimpin pasukan untuk segera mengepung dan menyerang pertahanan Belanda. Setelah benteng terkepung, Ahmad Lussy masuk ke dalam benteng dengan cara memanjat tembok benteng pojok Selatan (arah pantai), setelah berhasil masuk, segera membuka pintu gerbang, maka dengan ucapan kalimat Takbir “ALLAHU AKBAR” serta memiliki semangat jihat yang tinggi ditambah dengan rasa bencinya terhadap Belanda, para pejuang serentak menyerbu benteng pertahanan Belanda dan membunuh semua tentara Belanda yang diperkirakan sekitar 30 orang termasuk Residen Van den Berg yang ketika itu berada dalam Benteng kecuali seorang anak perempuan yang masih berusia sekitar 8 tahun, dibiarkan hidup.

Peristiwa penyerbuan tersebut membuat Belanda menjadi kacau, maka untuk menghentikan perlawanan, Belanda mendatangkan bantuan dari Ambon dan Jakarta untuk mematahkan perlawanan rakyat dan memblokir semua jalur masuk ke Saparua, akhirnya  pada  bulan  Agustus  1817  M / Syawal 1232 H,  benteng  Durstede di  Saparua dapat direbut kembali oleh Belanda. Dengan demikian  Belanda  menjadi  makin  kuat dan pada bulan Oktober 1817 M / Dzulhijjah 1232 H pasukan Belanda secara besar-besaran menyerbu pertahanan para pejuang, sehingga mereka semakin terdesak, akibatnya banyak pejuang yang tertangkap dan terbunuh sedangkan Ahmad Lussy dan Sarasa Sanaky Tepasiwa (Sayyid Perinta) dapat meloloskan diri dan bersembunyi di beberapa negeri (bukan di puncak gunung Booi) di Saparua dengan cara berpindah-pindah. Untuk menghilangkan jejak, mereka sering berganti-ganti nama dan fam serta mengaku sebagai warga negeri / desa dimana mereka bersembunyi. Namun karena penghianatan raja Booi (Kristen) dan tipu muslihat Belanda akhirnya Ahmad Lussy tertangkap ketika bersembunyi di Siri Sori Islam (sekali lagi bukan di puncak gunung Booi). Sedangkan Sarasa (Sayyid Perinta) dapat meloloskan diri  (ia meninggal dunia di Siri Sori Islam karena sakit dan dikuburkan di dusun Salaiku pada th 1825).

Sebagai rasa tidak setuju atas penangkapan Ahmad Lussy, penduduk Siri Sori Islam secara serentak turun kejalan, unjuk rasa, protes terhadap Belanda sambil berteriak “Mad-U-lesia, Mad-U-lesia, Mad-U-lesia”. Kalimat ini memiliki dua arti yaitu “bersama Mad kita pasti menang” dan bisa juga berarti “Mad, hancurkan mereka (orang Belanda)”. Ahmad Lussy dibawa ke Saparua kemudian pada hari Kamis 18 November 1817 M / 24 Muharam 1233 H diangkut ke Ambon bersama pejuang lainnya, dengan kapal Evertsen dan tiba di Ambon pada hari Ahad 21 November 1817 M / 27 Muharam 1233 H. Kemudian pada Selasa 23 November 1817, bertepatan dengan 29 Muharam 1233 H, Komisaris Jenderal untuk Hindia Belanda, pada waktu itu ialah Schout bij Nacht Arnold Adriaans Buyskes, mengeluarkan surat keputusan untuk menyerahkan Para pejuang yang telah tertangkap kehadapan Raad van Justitie, pengadilan Belanda di Ambon dan divonis Hukum mati oleh Raad van Justitie. Eksekusi dilaksanakan pada hari Selasa, 16 Desember 1817 M /  6 Safar 1233 H, dan Ahmad Lussy bersam kawan-kawannya gugur sebagai syuhada. Semoga arwah mereka diterima disisi Yang Maha Kuasa.  Amin.

Tertangkapnya Ahmad Lussy bersama kawan-kawannya, membuat Belanda makin meningkatkan tindakan keras. Intimidasi serta praktek Kristenisasi terhadap umat Islam lebih gencar lagi. Akibatnya mengalami penderitaan yang luar biasa. Bukan hanya lahir saja yang menderita tetapi batinpun dibuat menderita pula. Sedangkan mereka yang berhasil dipengaruhi / dimurtadkan mendapat perlakuan yang sangat istimewa, diberi kedudukan dan jabatan serta pasilitas pendidikan yang memadai untuk meningkatkan pendidikan mereka.

Semua sarana pendidikkan berada di koloni Kristen. Perlakuan semacam itu tidak pernah diperoleh umat Islam pada masa itu karena umat Islam tidak bisa diajak kerja sama. Situasi seperti itu berjalan terus sampai adanya perubahan polotik di Negeri Belanda yaitu golongan Konservatif yang selama ini menguasai pemerintahan serta kebijaksanaannya yang selalu menyengsarakan penduduk negara jajahannya, mengalami kekalahan dari golongan Liberal. Golongan yang menang inilah yang memberi kebebasan bagi pendudk negeri jajahan dalam segala bidang termasuk bidang pendidikan. Kebijakan tersebut dikenal dengan Politik Etis / Politik Balas budi. Politik tersebut dilaksanakan oleh Indenburg sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, (namun tetap menguntungkan Belanda). Maka mulai saat itu anak-anak orang Islam Saparua untuk pertamakalinya diterima sebagai siswa sekolah-sekolah umum milik pemerintah Belanda namun hanya terbatas bagi anak-anak raja dan anak-anak orang yang dapat diajak kerja sama dengan Belanda. Maka tidak heran di awal kemerdekaan Indonesia sumber daya manusia (SDM) umat Islam Saparua sangat rendah. Umat Islam ketika itu yang dapat membaca dan menulis huruf latin diperkirakan tidak lebih dari 0,02 % saja,  75 % dari mereka yang dapat membaca huruf latin itu hanya lulusan Volks School (SR 3 th,) sedangkan 20 % lulusan HIS = Hollands Inlandsche School (Sekolah Dasar 6 th.) dan yang 5% lagi lulusan MULO (SMP).

Tenaga pendidik di sekolah-sekolah umum mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas di awal kemerdekaan, adalah mereka yang beragama Nasrani, bahkan Universitas Pattimura satu satunya Universitas milik pemerintah di Kota Ambon, tenaga pengajarnya didominasi oleh mereka yang beragama Nasrani karena merekalah yang memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang memadai yang merupakan warisan pembinaan Kolonial Belanda.

 

MANIPULASI SEJARAH

Oleh: Drs. Ali AR Holle, MA

Kondisi SDM (Sunber Daya Manusia) Umat Islam Saparua yang sangat rendah, bahkan hampir tidak ada dikala itu dimanfaatkan Belanda dan kawan-kawannya untuk memanipulasi peran umat Islam dalam menentang Belanda, seperti:

  1. Nama Ahmad Lussy (Panglima perang Pattimura); yang beragama Islam diganti dengan Thomas Matulessy yang Kristen.
  2. Gelar Pattimura; yang mestinya pemberian rakyat yang tertindas kepada semua Komandan / Pemimpin perang dalam menentang Belanda di Saparua, dikatakan bahwa gelar Pattimura adalah pemberian Belanda kepada Thomas Matulessy. Bahkan masalah Kristenisasi yang memicu perang melawan Portugis dan Belanda tidak pernah disinggung samasekali oleh para penulis sejarah Pattimura yang notabenenya beragama Nasrani. Jelas ini merupakan manipulasi / pemutarbalikan sejarah, tapi bagaimana juapun, cepat atau lambat semua itu pasti terungkap juga.

Di sini penulis akan meluruskan dua masalah tersebut:

Pertama;
Nama Thomas Matulessy; yang betul Thomas Mad Lussy bukan Thomas Matulessy. Kemungkinan sudah  mengikuti lidah orang Balanda, Mad Lussy menjadi Matulessy seperti Sapanorua menjadi Saparua, atau salah pengertian terhadap kata-kata yang diucapkan oleh penduduk Siri Sori Islam di saat unjuk rasa ketika Ahmad Lussy di tangkap di desa mereka  “Mad-U-lesia” kemudian dirubah menjadi “Matulessy”. Sedangkan nama “Thomas” adalah panggilan terhadap perwira Inggris, karena Ahmad Lussy adalah mantan perwira Inggris ketika pemerintah Inggris berada di Indonesi (1811 – 1816 M) sehingga beliau juga sering dipanggil dengan Thomas Mad Lussy, oleh Belanda dirubah menjadi Thomas Matulessy kemudian ditambah agama Kristen. Perubahan semacam itu tidak hanya  terjadi  pada  Ahmad Lussy saja, tetapi juga terjadi pada diri Srikandi Maluku asal Saparua, dari negeri Kulur, Maryam Tutupoho, namanya diganti dengan Kristina Martatiahahu. Sedih, memang sungguh sedih dengan pemutarbalikan sejarah seperti itu. Arwah keduanya tidak rela dengan dimurtadkan nama mereka setelah berpulang ke hadirat Penciptanya, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sayangnya data-data lengkap yang otentik sudah musnah dilalap api ketika kaki tangan Belanda / RMS menyerang dan membumi hanguskan negeri Kulur di Saparua dan Latu di Seram Selatan sekitar tahun 1950-an. Ini adalah usaha Belanda dan kaki tangannya untuk menghilangkan jejak perjuangan umat Islam dalam menentang Belanda di Saparua khususnya dan di Maluku pada umumnya. Sehingga seakan-akan perang pada tahun 1817 di Saparuan adalah perang orang Kristen Saparua melawan para penyebar agama Kristen dari Belanda. Padahal, sejarah telah mencatat bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa kesini adalah didorong oleh disamping untuk mencari kekayaan dan kejayaan / kekuasaan juga mengembang tugas suci menyiarkan agama Nasrani yang dikenal dengan istilah 3G yaitu Gold, Glory dan Gospel. Jadi tidak mungkin Tomas Matulesy dari negeri / desa Haria dan Kristina Martatiahahu dari Nusalaut mengangkat senjata menentang kebijaksanaan saudaranya yang seagama dari Belanda, sebab mereka sampai menjadi penganut agama Kristen yang setia dan taat adalah hasil dari dakwah para misionaris Kristen Belanda lagi pula kesejahteraan mereka selalu diperhatikan, diberi pekerjaan, kedudukan dan jabatan, mereka selalu dimanja dan dianak maskan.

Jadi bagaimana bisa orang Kristen melawan belanda sementara mereka mendapat agama Kristen dari Belanda  mereka sama sama di gereja dengan pendeta / pastor orang Belanda, di didik oleh Belanda, mendapat pekerjaan dari Belanda. Sedangkan orang Islam dikejar-kejar, disiksa dan dipaksa untuk meninggalkan Aqidah mereka ?   

Kedua; Gelar Pattimura; Untuk mengetahui apakah gelar Pattimura itu pemberian Belanda atau bukan, hendaknya lebih dahulu kita tahu arti Pattimura.

Ada dua pengertian dari Kata Pattimura.

Yang pertama;  kata  Pattimura  terdiri dari dua kata yaitu “Patti” yang artinya “Pemimpin” dan “Mura” artinya baik hati. Jadi Pattimura artinya Pemimpim yang baik hati.  Gelar yang sangat mulia itu tidak mungkin diberikan kepada orang yang dituduh / dijuluki extrimis. Jadi tidak mungkin Belanda memberikan gelar “Pattimura” kepada Thomas Mad Lussy (bukan Thomas Matulessy) Tapi beliau memperolehnya dari umat Islam Saparua yang tertindas. Gelar yang sangat mulia itu, tidak hanya diberikan kepada Ahmad Lussy, tetapi juga kepada pemimpim yang lain seperti Sarasa Sanaky Tepasiwa (Sayyid Perintah) dari Siri Sori Islam dan pemimpin lainnya. Sebagaimana yang terungkap dalam kapata atau nyanyian adat berikut ini :

Oiye – oiye, sina oiye,

WALANDA –e Waisisi lo, sina oiye.

Kapitano PaTtimura WEhe Tepasiwa-wo,

yami leY-e – Walanda hoka SapanoRua-wo

Artinya : Maju, ayo maju, mari kita  maju, orang Balanda ada di Waisisil (di hujung Barat kota Saparua), ayo kita maju. Kapitan Pattimura Tepasiwa (Sayyid Perintah) sudah ada, mari kita husir orang Belanda keluar dari Saparua.

Nyanyian adat tersebut, digunakan oleh para pejuang ketika itu untuk menggugah dan membangkitkan  semangat perjuang melawan Belanda di tahun 1817. Dan nyanyian tersebut menunjukkan bahwa gelar Pattimura adalah pemberian rakyat kepada semua pemimpin perang, dengan demikian jumlah Pattimura sangat banyak sebanyak pemimpim perang ketika itu. Semua negeri / desa Islam punya pemimpin perang maka semuanya memiliki beberapa orang Pattimura. Di pulau Haruku Pattimuranya dari marga / fam Tuasikal dari negeri Pelawu yang oleh masyarakat Pelawu menyebutnya dengan “Matuwa-lessy” (orang tua dari marga Tuasikal), di pulau Ambon Pattimuranya bernama Umar Lesy dari desa Liang, di Siri Sori Islam, Pattimuranya adalah Sarasa Sanaky Tepasiwa (Sayyid Perinta), di Kulur Pattimuranya adalah seorang wanita Mariyam Tutupoho namanya dan masi banyak lagi Pattimura- Pattimura lainnya.

Pattimura-Pattimura yang tersebar di semua negeri / desa itu, di bawah komando satu Pattimura yaitu Pattimura Kapten Ahmad Lussy alias Thomas Mad Lussy dari negeri Latu Seram Selatan, (sekali lagi bukan Thomas Matulessy dari negeri Haria).

Yang kedua; kata “Pattimura” juga berasal dari kata “Patti-Mula” artinya “pemimpin pertama” oleh orang Belanda  menyebutnya  Pattimura  karena  mereka  tidak dapat membedakan antara kata Patti Mula dan Patti Mura. Gelar yang kedua ini diberikan rakyat Saparua, Haruku, Seram dan Ambon, khusus kepada Ahmad Lussy tidak kepada yang lain karena beliau dianggap sebagai orang pertama yang memimpin kelompok-kelompok pejuang yang datang dari beberapa daerah untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda di th. 1817. Sehingga beliau mendapat dua gelar sekaligus yakni gelar Pattimula dan Pattimura, gelar tersebut tetap dipertahankan dan dijadikan sebagai fam / marga oleh anak cucunya sampai sekarang.

Demikian sejarah singkat perjuangan umat Islam menentang kolonial untuk mempertahankan aqidah Islamiyah di pulau Saparua.

Akhirnya, kepada umat Islam yang ada di Ambon, Haruku, Saparua dan Seram, yang leluhur mereka terlibat dalam perang melawan Belanda di tahun 1817, agar  tidak  ragu-ragu  atau  takut  untuk menceriterakan peran mereka dalam menentang Kolonial untuk mempertahankan Aqidah Islamiyah di Saparua khususnya dan di Maluku pada umumnya yang selama ini disembunyikan dan diselewengkan oleh Belanda dan kakitangannya.

Sumpah yang pernah diucapkan oleh para leluhur kita untuk tidak menceriterakan identitas para pejuang di thn 1817 kepada orang yang tidak ada hubungan dara dengannya dan orang-orang yang  dicurigai kerja sama dengan Belanda, sudah tidak berlaku sejak Belanda dan kaki tangannya kehilangan kekuasa di bumi Nusantara ini.

 

HAJINYA SEEKOR KUCING

Oleh Generasi el-Hau:

Moh. Kasman bin Djaelani bin Kasim bin Kahar Sanaky

Bukan hanya manusia yang berangkat melaksanakan haji. Kakek saya al-Marhum Haji Ismail Holle punya cerita lucu, bagus dan keren abis. Kisah seekor kucing yang bertaubat dan berangkat melaksanakan haji ke Baitullah. Cerita ini aslinya dengan Bahasa Siri Sori, ketika saya duduk dibangku kelas 4 MI (Madrasah Ibtidaiyah). Cerita ini, sebagian besarnya sudah saya perbagus dan tambal, sehingga basudara ingin membacanya tidak bosan, Insya Allah. Ok, supaya cerita ini tidak hilang, ada baiknya saya bagikan untuk basudara semua.

Sepanjang hidup di dunia ini kita tahu, kucing dan tikus selalu musuhan dan tidak pernah berdamai apalagi hidup bersama dan berdampingan. Kalaupun ada kucing dan tikus hidup baik, akur, tidak saling musuhan itu karena kebetulan selalu bersama sejak kecil. Tapi yang pasti. Tikus selalu menjadi incaran kucing karena tukis, eh salah… tikus adalah mangsanya kucing. Sampai hari ini tikus selalu takut dan akan lari kalau melihat kucing.

Ok. Ringkasan ceritanya begini. Suatu waktu seekor kucing melaksanakan haji. Para tikus (musuh kucing), mengira kucing telah bertaubat sepulang dari melaksanaan haji. Tapi ternyata, kebiasaan menerkam tikus tidak bisa ditinggalkannya walau sudah melaksanakan haji, dan mendapat gelar haji. “tuangeee seru abisss.”.

JELANG KEBERANGKATAN KUCING KE TANAH SUCI

Di sebuah perkampungan. Masyarakat tikus memperbincangkan seekor kucing yang akan berangkat haji ke tanah suci. Rapat pertemuan warga tikus, bersepakatlah untuk membentuk sebuah panetia haji.

Berbagai persiapan acara keberangkatan telah disiapkan oleh panetia haji. Mulai dari pemasangan tenda, umbul-umbul, sampai bekal dan perlengkapan lainnya. Kerja tim yang bagus. Semua tikus benar-benar bersuka ria ketika mendengar kucing yang selama ini memangsa orang tua dan saudara mereka, sekarang akan berangkat melaksanakan haji. Harapan mereka, kalau kucing sudah melaksanakan haji, sudah pasti kucing akan bertaubat dan tidak lagi memangsa tikus.

 

ACARA-ACARA SEBELUM KEERANGKATAN

Seperti yang dilakukan Manusia sekarang. Gelar Tahlilan, do’a selamat, sampai pesta keberangkatan haji sudah dilaksanakan di rumah kucing. Hajatan besar ini, dihadiri tamu-tamu undangan dari kalangan para tikus dan kucing. Tokoh agama, tokoh adat dan semua warga tikus diundang. Berbagai makanan lezat disuguhkan panetia untuk menyenangkan tamu-tamu undangan yang hadir. Hari-hari belakangan ini, kucing benar-benar berbaik hati kepada para tikus. Sedang para tikus, sepekan belakangan ini benar-benar menjadi hari yang menyenangkan, hari bahagia, hari suka cita para tikus. Pesta besar untuk para tikus…

Sambutan-sambutan dari tetua-tetua adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama dari kalangan tikus sudah disampaikan. Diantara nasehat berharga itu adalah:

“Kami masyarakat tikus yang ada di sini, senang dengan keberangkatan kucing untuk pergi haji. Do’a kami. Semoga kepergian sudara kita kucing ke tanah suci nanti berjalan lancar, berangkat dengan selamat dan kembalipun dengan selamat pula tidak ada hambatan apa-apa. Sehingga kita kembali berkumpul lagi, sudah dengan suasana yang penuh cinta, dan tidak ada lagi kebencian dan musuhan. Kita berharap sudara kita kucing mendapat haji mabrur dan meninggalkan kebiasaan lamanya. Sehingga balasan yang akan di dapat adalah Jannah (surga) amen.  Amin amin amin Insya Allah…., Amin…., seru para tikus-tikus. “Semoga menjadi haji mabrur….., teriak tikus-tikus”

Kucing yang akan berangkat hajipun diberi kesempatan untuk menyampaikan sepatah kata: “Bismillahirrahmanirrahiim… Hari ini saya benar-benar merasa, seperti seorang raja. Trimakasih atas segala pelayanan yang telah diberikan, terutama kepada panetia. Saya juga ingin mengucapkan maaf, Kalau sekiranya di tahun-tahun kemarin saya, atau saudara-saudara saya dari kalangan kucing pernah menjalimi siapa saja di kampung ini, maka pada hari ini saya minta untuk dimaafkan. Untuk mereka yang telah kehilangan anak, kakak atau orang tua, karena ulah perbuatan saya atau keluarga saya, maka pada hari ini saya minta dimaafkan segala kesalahan kami.

Saya juga minta do’a dari semua warga tikus yang ada di kampung ini, semoga saya mendapatkan haji mabrur… mata kucing terlihat berkaca-kaca… sesaat kemudian, berlinang air matanya.. Semua warga tikus yang mendengar kata-kata kucing tadi, terharu dan tidak sedikit pula yang meneteskan air mata, merekapun terdiam sesaat karena menangis… Tiba saatnya kucing untuk berangkat. Semua melepas kepergian kucing ke tanah suci dengan perasaan senang… Selamat jalan kucing semoga mendapat predikat haji mabrur. Amin

 

KEPULANGAN KUCING DARI TANAH SUCI

Kucing yang sebulan kemarin dilepas keberangkatannya dengan suka cita, kini telah tiba dengan robongan ke tanah air. Dengan pakaian serba putih, sorban dengan ogalnya. Ringkasnya mulai kepala sampai ujung kaki, tertutup pakaian putih. Luar biasa, semua tikus memandang kucing dengan pandangan memuji: “Masya Allah…, ide boleh adoo.”. ada lagi yang mengatakan: “itana boleh dee…”, “inae… Imaropi kadiee…”. Macam-macam kalimat yang dilontarkan. Sepertinya suasana Arab, saat melaksanakan haji masih terasa dan belum hilang. Lihat saja tampilannya seperti masyarakat Arab. Bicaranya juga, ada sedikit loghat arabnya: “Na’am, ana bikhair…”, “Man anta ya akhi…”, “Aina baiti ana…”?. Muskilah Anta, La ta’rif aina baituk?. Artikan sendiri.

Gayanya wah…, Kesalehannya… subhanallah, dan bau harum minyak wangi yang dipakai tercium hampir seluruh kampung.

 

 

SILATURRAHMI PARA TIKUS

Setiap kali kucing melewati segerombolan tikus, kucing itu dielu-elukan tikus. Tidak ada rasa khawatir apa-apa dari ikus-tikus. Para tikus terus berdatangan ke rumah kucing, memberi ucapan selamat atas selesainya dari pelaksanaan haji. Mereka para tikus yang datang, selalu meminta kucing untuk menceritrakan perjalanan hajinya kepada mereka. Dengan sangat percaya diri, kucing menceritrakan kepada para tikus kisah perjalanan hajinya yang seru. Mulai dari melontar jumrah, thawaf keliling ka’bah, Sai antara safwa marwah sampai berkumpul dipadang Arofah. Semuanya lengkap satu set. Karena itu, para tikus-tikus itu, yakin kalau kucing telah bertaubat atas kesalahannya yang dulu, dan mereka percaya kalau kucing telah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.

Antara tikus satu dengan tikus lain ada yang berbisik-bisik. Kalau kucing itu sudah menjadi kucing baik. Ada yang mengatakan: “Tauni, ide imai niao…”. Kebiasaan jelek yang dulu pernah dia lakukan pasti telah ditinggalkannya, dan tidak akan diulanginya lagi. Jadi kita warga tikus tidak perlu ragu lagi. Mudah-mudahan saja, dia mendapatkan haji mabrur. Harapan seluruh tikus di kampung itu sama. Semoga kebiasaan memangsa tikus ditinggalkannya dan tidak lagi diulang kembali.

Namun disalah satu rumah keluarga tikus. Seorang kakek tikus menasehati cucu-cucunya: “Wahai cucu-cucuku, ketahuilah oleh kalian, kalau kita adalah makanan kucing. Karena itu, kakek nasehatkan agar jangan pernah percaya dengan perkataan kucing kalau dia sudah meninggalkan kebiasaan lamanya”. Kata kakek tikus itu lagi: “Selama kucing dan tikus ada, mereka tidak pernah berdamai dan tidak pernah dalam sejarah binatang, kalau kucing bersahabat dengan tikus”. Kalau kalian mau menonton kucing yang baru pulang dari berhaji itu boleh saja tapi ingat, pilihlah tempat yang paling belakang dari teman-teman kalian”. Iya kek, sahut cucu-cucu tikus itu. (bersambung)

 

MENINGGAL TUANG GURU RUMAH PENGAJIAN DITUTUP

Oleh Generasi el-Hau:

Moh. Kasman bin Djaelani bin Kasim bin Kahar Sanaky

 

Tanyalah kepada orangtua kita yang masih hidup sekarang. Mereka tahu kalau dahulu Kampung kita banyak berdiri rumah ngaji, tempat belajar Al-Qur’an dan kajian Ilmu Agama. Rumah ngaji atau tempat pengajian yang ada pada saat itu tidak pernah sepi dari tullab (penuntut ilmu). Siang untuk ngaji Al-Qur’an, sedang malam diisi dengan kajian kitab kuning, tanya jawab masalah agama dan shalat berjamaah bagi jamaah perempuan.

Selain ngaji Al-Qur’an, ada yang diistilahkan dengan Ngaji tikar. Orang-orang kampung menamakannya dengan ngaji tikar atau belajar tikar. Disebut demikian karena para santri, tullab yang datang belajar duduknya diatas lantai beralaskan tikar, bukan diatas kursi sebagaimana sistem kelas dimasa sekarang, yang ada bangku dan mejanya. Tapi walaupun demikian, pengajian tikar ini sangat menyedot perhatian masyarakat. Bukan saja orang kampung sendiri yang belajar, tapi dari kampung lain ada juga pernah menimba ilmu di Desa Siri Sori Islam.

Sayangnya pengajian-pengajian ini tidak bertahan lama, sebagian besarnya sudah di tutup dan menjadi bangunan kosong yang penuh sejarah. Hal ini terjadi karena tidak ada anak keturunan yang mau melanjutkan usaha-usaha mulia ini. Padahal usaha ini, merupakan satu amalan yang tidak pernah putus pahalanya. Sebagaimana yang disebutkan Nabi dalam sebuah Haditsnya: “Ilmu yang bermanfaat”. Saya dan anda yang merasa diri sebagai generasi el-Hau. Tentu prihatin, sedih ketika melihat betapa mundurnya kampung sekarang untuk segi keagamaan. Kampung kita benar-benar berada dalam suatu masa yang susah. Kita benar-benar kering. Bukan susah karena tidak punya uang, dan bukan kering karena tidak ada air, tapi kita susah karena kampung kehilangan panutan, berkahnya hilang dan kering dari ilmu agama. Kiranya benar kalau ada sebuah hadits Nabi yang mengatakan: “Ilmu itu diangkat dengan dimatikannya ulama”.

Jangan jauh-jauh meneropong Kampung lain, cukup melihat Kampung kita. Hitunglah. Kira-kira berapa banyak ulama (orang yang pandai ilmu agama) yang masih hidup bersama kita?. Ulama yang saya maksudkan disini, seperti mereka-mereka, para tuang guru kita, sebut saja secara acak. Tuang Guru Haji Nawawe Saimima, Tuang Guru Haji Taher Saimima, atau seperti tuang Guru Haji Bakari Pelupessy, Tuang Guru Haji Anas Holle, Tuang Guru Haji Said Pelupessy, atau Tuang Guru Haji Hasan Kaplale dan banyak lagi tuang guru seperti mereka yang saya sebutkan tadi.  Ulama setingkat mereka-mereka diatas tadi sudah tidak ada. Mereka adalah para tuang guru dan juga ulama. Mereka telah pergi dengan membawa semua yang mereka miliki. Benarlah jika ada sebuah perkataan yang menyatakan: Mutuao sitahe sioi tuadu, tau sikeheedu tau”.Yang arti bebasnya seperti ini: “Orang tua-tua dulu itu meninggal dengan membawa semua ilmu mereka, dan tidak ada yang ditinggalkannya”.  Atau kalimat yang semacam ini, “Ilmu itu akan pergi bersama dengan perginya pemiliknya”. Artinya. Jika pemiliknya meninggal dunia, maka ilmu itu pun akan pergi pula.

Dari hadits dan perkataan orang-orang pandai diatas, kiranya menjadi teguran serta pelajaran berharga yang dapat kita petik. Kalau ilmu agama itu tidak bisa diwarisi dari seseorang kepada orang lain. Sebaliknya, Ilmu itu harus dicari, dikejar dan dituntut dimanapun ilmu itu berada. Sederhananya seperti ini. Katakanlah. Kakek yang dahulunya adalah seorang ulama atau Ayah yang dahulunya pintar ilmu agama, tidak bisa mewarisi ilmu yang dia miliki kepada anak atau cucunya yang tidak pernah mau belajar. Ilmu itu menuntut kita untuk mencarinya, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah pepatah Arab: “Al-Ilmu Yu’ta Wala Ya’ti ‘Alaihi“ artinya: Ilmu itu didatangi dan bukan sebaliknya ilmu yang datang kepada kita.

Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada Abu Bakar Ibnu Hazm sebagai berikut: “Perhatikanlah, apa yang berupa hadits Rasulullah saw. maka tulislah, karena sesungguhnya aku khawatir ilmu agama tidak dipelajari lagi, dan ulama akan wafat. Janganlah engkau terima sesuatu selain hadits Nabi saw. Sebarluaskanlah ilmu dan ajarilah orang yang tidak mengerti sehingga dia mengerti. Karena, ilmu itu tidak akan binasa (lenyap) kecuali kalau ia dibiarkan rahasia (tersembunyi) pada seseorang.”. Umar, sahabat Nabi pernah berkata: “Belajarlah ilmu agama yang mendalam sebelum kamu dijadikan pemimpin”. Sahabat-sahabat Nabi saw. masih terus belajar pada waktu usia mereka sudah lanjut.

Kehebatan yang pernah di rasakan warga Siri-Sori Islam dahulu tidak akan terulang lagi kalau kita membiarkan keadaan ini terus seperti ini. Ilmunya ulama-ulama kita akan hilang kalau tidak ada dari anak generasi ini yang mau belajar ilmu agama. Semua cerita itu, akan tinggal kenangan dari generasi ke generasi “mutuwao sitahe boleh”. Kalimat seperti ini selalu kita dengar, tapi sayang belum ada upaya untuk mengembalikan apa yang pernah diraih oleh orang tua-tua kita dahulu. Wallahu ‘alam.

YANG MANA, SAPANO RUA ATAU SAPARUA?

Oleh Generasi el-Hau:

Moh. Kasman bin Djaelani bin Kasim bin Kahar bin Ahmad Sanaky

 

Penulis kecil, tumbuh dan besar di Kampung. Banyak hal yang penulis lihat dan banyak pelajaran yang penulis dapatkan. Terutama dari kedua kakek saya. Al-Marhum Haji Ismail Holle dan Haji Abdurrahim Holle. Memang, mereka hanyalah petani, bukan guru dan bukan pula dosen. Namun mereka telah mentransfer sejarah kampung dan sejarah Maluku kepada penulis dalam jumlah banyak. Bagaimana tidak, hamper sepuluh tahun penulis hidup dengan mereka. Tapi penulis tidak berhenti dengan apa yang telah penulis lahap dari mereka. Penulis juga selalu berusaha mencari, bertanya kepada sumber lainnya dan kemudian mencocokkannya dengan apa yang penulis dapatkan dari mereka. Karena itu, penulis pernah bertanya langsung kepada al-Marhum Haji Ali Kumullo, atau tete Ali Patty. Demikian pula kepada paman-paman saya yang juga pernah mendengar cerita-cerita ini.

Mereka bercerita tentang Saparua. Apa kata mereka?. Kata mereka. Jauh sebelum datanggnya penjajah, pulau Saparua telah dikenal dengan nama “Nusa Ama Ihal”. Sebuah nama unik yang mungkin baru pertama kita dengar. Ini adalah nama pemberian dari datuk-datuk dahulu. Selain dikenal dengan nama “Nusa Ama Ihal”, masyarakat Saparua saat itu juga menamakannya dengan nama: “Sapano-rua”, atau “Sopano-lua”. Yang terdiri dari dua kata yakni, “Sapano/Sopano” yang artinya sampan atau perahu. Sementara kata “Rua/Lua” artinya dua. Selanjutnya, kalau kita sebut bersamaan“Sapano-rua/Sopano-lua” maka artinya adalah “dua buah sampan, dua buah perahu, atau bisa pula dua buah kapal.

Pada saat Penjajah masuk Saparua. Nama-nama diatas tidak lagi di dengar, apalagi dipakai. Kondisi ini berjalan sangat panjang dan pada akhirnya nama-nama itu menjadi hilang. Ada pendapat yang mengatakan, kalau Perubahan nama “Sapano-rua”, atau “Sopano-lua”, menjadi Saparua, karena lidah dari penjajah dalam hal ini belanda, tidak faseh lisan mereka untuk menyebut kalimat Sapano-rua / Sopano-lua, dengan tepat. Artinya. Lidah penjajah berat dalam menyebut nama-nama diatas. Mereka para penjajah ini lalu menyebutnya apa adanya, sekemampuannya. Karena nama itu sering disebut, maka menjadi hilanglah nama aslinya. Sementara nama Sapano-rua atau Sopano-lua tetap terjaga dikalangan orang Siri Sori Islam sampai sekarang dengan nama “Ama Ihal” dan “Sapano rua atau Sapano lua” sebagaimana sudah penulis jelaskan.

Pertanyaan yang mungkin muncul. Mengapa leluhur kita dahulu menyebut Saparua dengan dua buah sampan?. Ada yang mengatakan kalau “Sapano / Sopano rua” artinya dua buah sampan, dua buah perahu atau kapal. Karena di Saparua ada dua kerajaan besar. Yang lain mengatakan. Saparua kalau dilihat dari ketinggian atau dari atas pulau Saparua, maka akan terlihat seperti dua buah perahu yang sedang anyo-anyo, atau sedang berlayar. Terlepas dari perbincangan ini, dapat saya katakan kalau nama Saparua, sebagaimana kita menyebutnya sekarang tidak memiliki arti apa-apa, berbeda dengan “Sapano/Sopano rua”. Filosofisnya sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Jelas, nama Sapano Rua adalah Nama yang lebih pantas ketimbang Saparua.  Walau nama asli dari Saparua sudah kita tahu, tentu tidak serta merta harus disebut sebagaimana nama aslinya. Sudah pasti sulit. Apalagi sudah sekian lama, kita menamakannya Saparua. Jadi kita tetap menyebutnya dengan nama Saparua, tidak perlu dipermasalahkan.

Penjelasan singkat tentang asal mula Saparua diatas, mungkin membuat anda yang baru mendengar, terkejut. Apa benar begitu?. Ya benar. Inilah yang kami warisi dari pendahulu-pendahulu kami di Kampung. Karena itu penjelasan seperti ini, saya yakin belum mampu meyakinkan anda. Tapi itu bukan urusan saya. Saya tidak mau memaksa siapapun dari pembaca untuk menerimanya. Tugas saya, hanya menceritrakannya kembali kepada pembaca khususnya anak muda Kampung Siri Sori Islam, dan juga pembaca lain. Cerita seperti ini, bukan hanya saya yang tahu, tapi hamper semua warga tahu nama-nama diatas. Karena saya merasa ini adalah amanah, maka sudah menjadi kewajiban saya untuk menyampaikannya bukan untuk menyimpannya.

Kembali kita bicara tentang saparua. Perlu diingat. Sebelum penjajah portugis dan belanda masuk bumi Saparua. Saat itu Saparua telah mendapat sentuhan, cahaya dan juga budaya Islam. Selanjutnya, terjadilah apa yang kita sebut dengan peradaban Islam. Saparua menjadi pilihan persinggahan para ulama dan saudagar karena di Saparua ada dua kerajaan Islam. Saparua menjadi magnet bagi bangsa lain bukan saja karena rempah-rempahnya, namun karena alasan dakwah agama. Karena alasan “Islam Rahmatan Lil alamin” maka para ulama dari tanah Arab itu datang ke sana. Jadi. Kedatangan ulama murni untuk menyiarkan dan mendakwahkan Islam. Islam yang dibawa oleh para ulama, dan selanjutnya oleh para saudagar-saudagar Muslim dari tanah Arab, tersebar dengan santun, indah dan menjadi satu-satunya agama pilihan masyarakat saparua pada umumnya dalam kurun waktu yang lama.

Bukti-bukti kejayaan Islam di Saparua dapat di temukan di tiga kampung muslim yang ada di sana, terutama di Kampung Siri Sori Islam. Seperti kuburan tua para leluhur yang ada di kampung lama (kampung tua), kuburan saudagar dan da’I muslim dari jazirah Arab yang ada di dekat pantai Siri Sori Islam. Demikian pula bekas-bekas kampung yang berupa susunan-susunan batu karang yang ada di kampung el-Hau. Bukan hanya menjadi tempat tinggal, tapi juga sebagai markas dakwah Islam (pertemuan para raja-raja Islam). Disamping Manuskrip-manuskripatau buku-buku tua. Sayangnya bukti-bukti itu belum banyak digali atau di fublikasikan dengan maksimal.

Ketika penjajah masuk Saparua, seluruh warga Saparua telah memeluk Islam. Melihat kenyataan ini, penjajah Portugis dan juga Belanda tidak tinggal diam. Penjajah melakukan berbagai upaya pemurtadan. Apakah usaha penjajah berhasil?. Ya, mereka berhasil. Beberapa Kampung berhasil di bumi hanguskan dan warga asli dari Kampung-kampung muslim itu lari meninggalkan kampungnya. Mereka lebih memilih lari menyelamatkan aqidah Islamiyah daripada tinggal untuk di murtadkan. Kampung-kampung Muslim yang ada di Saparua di bakar, Rumah mereka di bakar dan tanah-tanah garapan mereka di ambil dan di bagi-bagi kepada yang mau tunduk kepada penjajah. Hanya ada satu Kampung yang tidak dapat di taklukkan. Kampung apa itu?.  Dialah Kampung el-Hau, Ama Ihal, Lou Hata, Siri Sori Islam sekarang.

Belanda tahu kalau Kampung Siri Sori Islam menyembunyikan sesuatu. Beberapa  kali usaha belanda untuk membumi hanguskan Siri Sori, tapi selalu tidak berhasil. Jangankan membakar, untuk berhasil masuk Siri Sori saja susah. Konon katanya, Kampung seperti di tutupi kabut asap. Selama bertahun-tahun belanda melancarkan serangannya namun Kampung Siri Sori Islam belum juga berhasil di bumi hanguskan apalagi di taklukkan.

Ditengah-tengah gencarnya penjajah melakukan praktek pemurtadan kepada warga asli Saparua. Muncullah seorang pemuda yang dijuluki Sayid Perintah. Dialah, Sarasa Sanaky Tepasiwa untuk bangkit memimpin perlawanan terhadap penjajah. Beliaulah yang mengundang kapitan-kapitan Muslim di berbagai Kampung di Maluku untuk datang ke Saparua bahu-membahu bersama pejuang muslim lainnya melawan belanda dan menaklukkan Benteng drustede. Dan atas izin Allah mereka berhasil.

Setelah penaklukkan benteng drustede oleh pejuang muslim, menjadikan belanda semakin bringas. Karena warga Siri Sori Islam dianggap otak dibalik penyerangan ini maka belanda melakukan pengejaran. Pejuang muslim yang paling dicari yakni Sarasa Sanaky, alias Sayid perintah. Kalau di temukan, ditangkap hidup-hidup dan dibunuh. Namun usaha untuk menangkap Sarasa Sanaky selalu gagal. Warga Siri Sori saat itu, tahu benar siapa sebenarnya Sarasa Sanaky dan teman-temannya. Tapi tidak satupun warga yang membongkarnya. Semua diam seribu bahasa.

Warga Kampung telah bersumpah untuk tidak menunjuk siapa itu Sarasa Sanaky atau Sayid Perintah itu. Karena sebab itulah warga siri-sori lebih suka mendengar penuturan kisah sejarah lewat cerita-cerita orang tua-tua mereka ketimbang ditulis di kertas atau dokumen-dokumen lain. Namun bukan berarti tidak ada tulisan yang diwariskan, jika mau ditelusuri akan banyak catatan sejarah ditemukan. Jadi yang diinginkan oleh penjajah bukan saja rempah-rempah yang melimpah milik rakyat, tapi juga penghancuran warga lokal yang tetap dengan akidah Islam dan pemusnahan bukti-bukti sejarah yang ditulis di lembaran-lembaran kertas.

Menggali bukti-bukti sejarah masa lalu adalah tugas kita semua, bukan para peneliti saja. Secara nasional gairah penelitian beberapa tahun belakangan ini makin menggeliat. Dan tidak ketinggalan penelitian terhadap naskah, tulisan kuno yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan. Usaha ini patut dipuji dan disambut hangat. Inilah salah satu cara dan upaya mengamankan dan sekaligus melestarikan kekayaan bangsa dari kepunahan. Sayangnya semangat peneliti lokal untuk menggali bukti-bukti sejarah kejayaan Islam di Saparua masih sangat kurang, atau boleh dikata langka. Padahal Saparua diperkirakan masih menyimpan banyak bukti sejarah kejayaan Islam masa lalu sebelum datangnya penjajah ke bumi Jaziratul Muluuk ini.  Wallahu ‘alam.

ADA UKHUWAH DALAM BAKUMPUL BASUDARA

Oleh Generasi el-Hau:

Moh. Kasman bin Djaelani bin Kasim bin Kahar bin Ahmad Sanaky

 

Sampai hari ini, kebersamaan dan persaudaraan dikalangan warga Siri Sori Islam, boleh dikata masih cukup kental dan solid. Kebersamaan dan persaudaraan itu masih dapat dilihat dari kehidupan warganya sehari-hari. Kebiasaan baik seperti ini sudah ada sejak lama, dan masih terjaga sampai kepada anak cucu sekarang. Beberapa contoh berikut saya sodorkan sebagai perwakilan. Ada warga yang mau turun melaut “panggayong” , warga lain yang ada disekitar, dengan senang hati datang membantu, mengangkat perahu milik nelayan itu ke pantai. Contoh lain. Seorang ibu yang memiliki kelebihan makanan, dengan senamg hati akan menawarkan, memberikan sebagian dari makanannya itu kepada tetangganya yang kekurangan. Dengan mengatakan: “Ina fatimau… opidi mu uta sualo ettine..”. Dan masih banyak contoh lagi yang masih dapat kita temukan dalam hidup dan kehidupan warga sehari-hari. Persaudaraan dan keakraban yang sangat luar biasa seperti ini, bukan sesuatau yang baru, namun sudah ada sejak generasi awal, dan masih terjaga hingga sekarang.

Kebersamaan dan persaudaraan yang sangat menonjol dapat dilihat pada acara “Bakumpul Basudara”. Kapan Bakumpul Basudara ini di lakukan?. Yaitu, ketika ada salah seorang warga yang mau melepas masa lajangnya. Keluarga dan warga kampung akan datang untuk membantu, entah itu dana ataupun tenaga. Kalau mau ditelusuri ke belakang. Tidak ditemukan catatan ataupun cerita lisan yang dapat mengungkap kapan lahirnya “Bakumpul Basudara” ini, namun diyakini tradisi ini sudah ada sejak lama, dan awalnya hanya dalam lingkup kecil seperti keluarga, yakni dalam lingkup keluarga besar, atau dari satu ikatan marga yang sama. Namun dalam perkembangannya, tradisi ini meluas dan melibatkan seluruh marga Kampung. Hal ini terjadi karena, ikatan keluarga atau marga sudah meluas karena sebab pernikahan. Hubungan persaudaraanpun makin membesar dan meluas. Ketika Bakumpul Basudara ini sudah menjadi sebuah tradisi seperti sekarang, maka muncullah nama untuk tradisi ini dengan “Bakumpul Basudara”.

Yang menarik dari “Bakumpul Basudara” adalah hidangan faporitnya satu macam, yang sampai hari ini belum juga berubah. kira kira hidangan apa ya?. ini dia, “Pulut unti”. Walau pulut unti adalah menu tetap, namun tidak akan membuat warga Siri Sori Islam menjadi bosan karenanya, apalagi sampai berdemo atau protes minta diganti dengan menu baru dan moderen. Pulut unti bukan sekedar menjadi menu faporit saat acara “Bakumpul Basudara”, tapi dibalik itu ada arti pilosofisnya. Pulut unti yang saling mengikat dan merekat seperti lem, mengandung arti bahwa. Kuatnya kebersamaan dan kokohnya persaudaraan. yang dalam Islam kita sebut dengan: “Ukhuwah Islamiyah” atau persaudaraan dalam Islam. dengan Bakumpul Basudara seperti ini, Ukhuwah Islamiyah warga Siri Sori Islam makin baik.

Saat “Bakumpul Basudara”, ada dana yang dibawa tiap warga. besaran dana tidak dipatok berapa jumlah yang harus diberikan, semuanya berangkat dari kesadaran dan keikhlasan untuk membantu sesama saudara mereka. Dahulu, sejak penulis kecil, uang Rp. 10.000,- atau Rp. 20.000,- masih banyak memenuhi toples (tempat uang). Sementara dizaman sekarang uang Rp. 10.000,- atau Rp. 20.000,- sudah bukan lagi masanya dan berganti dengan Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,-. Sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, dana Rp.5.000.000,- Rp.6000.000,- masih cukup untuk acara walimah dan pesta joget muda mudi. Tapi untuk zaman ini, uang sebanyak itu sudah tidak cukup. Karena harga barang hari ini tidak sama dengan harga barang pada saat itu.

Dengan demikian, ketika acara Bakumpul Basudara ini, mengalami peningkatan pula. Dari yang bersifat sukarela, keikhlasan menjadi semacam tabungan atau arisan. Standar pemberianpun seperti sudah dipatok. Uang Rp. 10.000,- atau Rp. 20.000,- tidak lagi memenuhi toples, tapi lebih banyak didominasi uang biru dan merah, Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,-. Ini juga yang kemudian menjadi salah satu pemicu dari warga yang pendapatan setiap bulannya sedikit. Seperti basudara kita dari kalangan tukang becak, sopir angkot, atau buruh bangunan. Ada yang angkat bicara, dan sekedar mengecek: “Hulanno ettine waida dee koi”?. Kalau saja 3 atau 4 kali bakumpul dalam satu bulan maka mereka akan berkata: ”emmi sidepu kadii…”. Suara-suara dari belakan seperti ini sering kita dengar. Mereka juga ingin membantu keluarga, teman atau saudaranya, sementara pendapatan setiap bulannya tidak seberapa. Padahal secara pinansial, mereka tidak mampu. Uang dengan jumlah Rp. 50.000,- didapat dengan susah payah, banting tulang dan peras keringat. Karena itu jangan heran jika ada suara-suara sumbang yang mengeluh dibalik tirai “Bakumpul Basudara”. Diantara mereka ada yang mengatakan. Kalau mengeluarkan Rp. 50.000,- atau Rp. 100,000,- tiap bulan Insya Allah tidak masalah, tapi akan berat kalau dalam satu bulan ada 2 atau 3 pemuda yang akan menikah. Sementara masih banyak keperluan lain menunggu untuk dilunasi pula.

Setelah melihat besarnya manfaat dari Bakumpul Basudara ini, muncul ide dari warga lain yang bukan dari warga Siri Sori Islam untuk melakukan acara serupa. Kita sebagai warga Siri Sori dengan senang hati, silahkan saja bagi yang mau meniru apa yang sudah kita lakukan. Silahkan lakukan sebagaimana kami lakukan. Wallahu ‘alam.

 

YANG MURTAD PADA MASA PENDUDUKAN BELANDA

Oleh Generasi el-Hau:

Moh. Kasman bin Djaelani, bin Kasim bin Kahar bin Ahmad Sanaky

 

Siri Sori Islam memiliki cerita-cerita lisan yang cukup banyak tersebar di rumah-rumah warga. Cerita-cerita ini mengalir dari generasi ke generasi, dan sudah menjadi sebuah tradisi bagi warga Kampung sampai hari ini. Namun keberadaannya juga makin jarang di dengar lagi. Dahulu, sebagian besar cerita lisan ini mengalir sembunyi-sembunyi di kalangan warga, dan tidak mudah diulas bebas di ekspos atau diceritrakan untuk khalayak ramai. Dan diantara Cerita-cerita lisan itu, ada yang dapat mengungkap banyak hal yang selama ini belum jelas, yang terkesan ditutup-tutupi. Zaman telah berubah, dan kitapun bukan lagi hidup dibawah tekanan penjajah. Apa yang dahulunya kita sembunyikan karena alasan takut jangan sampai diketahui orang, maka kini saatnya untuk kita ceritrakan.

Orang tua-tua kita dahulu menceritrakan, kalau agama yang mula-mula masuk ke Pulau Saparua adalah agama Islam. Agama ini dibawa oleh para ulama dari tanah Arab. Mereka adalah ulama yang mendapat tugas mulia sebagai juru dakwah dari penguasa  kala itu. Karena ketinggian ilmu yang mereka miliki, sebagian kalangan menempatkan mereka pada posisi tinggi setingkat waliyullah (wakil-wakil Allah diatas bumi). Dua ulama besar itu adalah  Syeikh Abdurrahman Assagaf Maulana Saniki Yarimullah, berasal dari Bagdad Iraq, (mendapat gelar Sayyidina Baraba) dan Zainal Abidin Al-Idrus, yang juga datang dari Baghdad Iraq, yang bergelar  (Somallo ).[1] Ratusan tahun kemudian baru masuk agama Kristen yang dibawa penjajah.

Masuknya penjajah dengan membawa ajaran Kristen. Menurut sebuah pendapat. Karena kuatnya desakan dan paksaan penjajah, sebagian besar dari warga saparua yang sebelumnya telah menganut agama Islam, kembali menjadi murtad (keluar dari Islam). Disisi lain, ada pendapat berbeda yang meragukan pernyataan diatas. Pendapat ini mengatakan kalau Orang tua-tua Siri Sori Islam dahulu tidak ada satupun yang murtad. Mereka adalah generasi awal, yang terkenal taat dan kuat agamanya. Karena itu tidak mungkin dengan mudah mereka tunduk kepada penjajah apalagi sampai mengikuti ajakan untuk mengganti akidah. Namun pendapat ini runtuh ketika kenyataannya menunjukkan hal berbeda dengan catatan-catatan sejarah yang ada di Kampung. Bertambah terang lagi duduk persoalannya ketika saya merujuk kepada tuturan lisan dari kakek saya, al-marhum haji Ismail Holle. Dari tututran lisan inilah, saya bertambah yakin, kalau pendapat pertama justru lebih mendekati kebenaran. Kata beliau. Mayoritas dari penduduk saparua dulunya memang beragama Islam, bukan Kristen sebagaimana yang dimunculkan belakangan ini. Tatkala masuk belanda, ada warga Saparua yang murtad[2].

Desa Ulath sebagai contohnya. Pada masa penjajah, seorang warga Kulur yang bernama Abdullah bermarga Ningkeula berhasil dimurtadkan oleh misionaris Kristen dan diberi tempat dan kedudukan terhormat sebagai raja di Ulath[3]. Karena telah murtad, saat itu juga, marganya dirubah menjadi Abdullah Nikiyulu.[4] Masih kata beliau. Salah satu warga Siri Sori Islam juga berhasil di kristenkan dan ditempatkan di tanah petuanan Siri Sori Islam yang sekarang ditempati warga Desa Siri Sori Sarani. Sekarang Desa Siri Sori Sarani, telah berganti nama menjadi Siri Sori Amalatu[5]. Dari sinilah kita tahu kalau Siri Sori Sarani atau Siri Sori amalatu lahir pada masa pendudukan belanda, yang bukan Negeri induk. Warga Siri Sori Islam yang bernama Abubakar Kaplale, marga Imam, malah murtad dan mengganti nama menjadi Sesbakar Kesaulya.[6] Dengan masuknya Abubakar Kaplale ini, maka ikat kepala yang saat itu berada diatas kepalanya dilepas. Warga Kampung Siri Sori Islam menyebutnya “Lahataddo”, semacam sorban yang di pakai untuk menutup kepala. Ketika dilepasnya lahataddo, maka Abubakar Kaplale atau sesbakar Kaplale tidak lagi Islam. Wallahu ‘alam.

[1] Baca Pengaruh Islam di Saparua.

[2] Murtad bisa saja terjadi, dimana, kapan dan kepada warga mana saja. Bahkan mereka yang pernah mendapat bimbingan langsung dari Nabi saja ada yang murtad.

[3] Desa Ulath, adalah salah satu desa yang menempati tanah petuanan Kampung Siri Sori Islam.

[4] Abdullah adalah warga kulur, bukan warga Siri Sori Islam. Karena Siri Sori Islam tidak ada marga Ningkeula.

[5] Perubahan nama dari Siri Sori Sarani kepada Siri Sori Amalatu ini terjadi usai kerusuhan berdarah 1999. Perubahan nama ini, mungkin saja ada kepentingan yang manfaatnya bisa sekarang dan akan datang. Kata “Amalatu jika diterjemahkan adalah “Negeri Raja”. Tapi jangan terkecoh. Karena perubahan nama ini bisa menjadikan menjadikan kita salah faham kalau merekalah Negeri asli atau Amalatu itu. Karena perubahan ini bukan sudah dari awal pendirian desa Siri Sori Sarani ini, tapi sekitar tahun 2002 setelah kerusuhan.

[6] Kesaulya artinya, lepas ikat kepala. Warga Siri Sori Islam menyebutnya “Lahataddo”

TRADISI BASUARA, WARGA SIRI SORI ISLAM

Oleh Generasi el-Hau:

Moh. Kasman bin Djaelani bin Kasim bin Kahar bin Ahmad Sanaky

Kata “tegur/tagor”, “sapa”, atau “salam”, adalah sederetan kata yang sama maknanya dengan “basuara” yakni memberi suara. Warga Siri Sori Islam menyebutnya dengan istilah, “didiom/didiomi”. Sementara “didiom/didiomi” ini, adalah  sebuah tradisi, yang dengan mudah dapat kita temukan dalam keseharian warga Siri Sori Islam khusunya yang ada di Kampung. Kebiasaan baik seperti ini, adalah salah satu warisan, peninggalan dari generasi awal Siri Sori Islam yang harus dijaga dan dilestarikan agar selalu hidup sampai ke generasi kita selanjutnya. Zaman boleh moderen, namun kebiasaan baik seperti ini jangan dilupa apalagi ditinggalkan. Yang menarik dari apa yang akan kita bicarakan ini adalah bagaimana jika ada warga, atau perantau dan pendatang yang kedapatan lupa atau tidak memberi salam, atau lupa menyapa warga. Ketika itu mereka akan diingatkan dengan kalimat seperti ini, “didiomi mausei mo”. Terjemahan lepasnya, “basuara sadiki sudara”. atau “tagor-tagor sadiki tamang”.

Kalimat diatas, mengandung pengertian bahwa, jangan bersikap diam, apalagi masa bodoh atau tidak perduli dengan warga di sekitar kita. Tapi ketika kita membuka suara dengan  salam, bersuara, atau membuang suara kepada warga yang ada maka mereka akan senang dan tentunya akan membalas suara yang kita buang tadi dengan balasan suara yang baik pula. Terkadang. Suara yang telah kita keluarkan itu, akan mengundang warga untuk bertanya dan berbisik-bisik, atau dalam bahasa Siri Sori Islam “yasasasa”(berbisik-bisik). Seperti. “emna sei anai? (itu anaknya siapa?). Bahkan warga akan memujinya dengan mengatakan. “anahiidi itana, ni budi bahasa mai kadi”, “anak itu, bagus sekali budi bahasanya, atau baik sekali akhlaknya”. Di warga ada juga “yaramana”. Namun harus dibedakan antara “yasasasa” dan “yaramana”. Kalau “yaramana” selalu berkonotasi jelek atau tidak baik, yaitu menceritrakan kejelekan orang, baik orang itu ada atau tidak ada di hadapan kita. Sedangkan “yasasasa” sebagaimana saya jelaskan diatas.

Kalimat-kalimat yang masuk dalam istilah “didiomi” banyak jumlah dan macamnya. Sebagai contoh, kalimat. “MITUPA NIA”. Kalimat ini arti bebasnya, adalah “kalian duduk ya”. Kalimat ini digunakan, atau dilontarkan oleh warga yang berjalan kepada warga yang sedang duduk. Bagi warga yang duduk atau yang mendengar kalimat ini, spontan akan menjawab. “ELOO… (iya), Atau “MIYOI NIA”. Atau dengan tambahan-tambahan lain, misalnya, “ELOO… MAI-MAI KOIYIO…” (iya baik-baik ya) atau “ELOO… MIOI NIA KOIYIO…” (iya kalian jalan ya…). Menurut saya. Kalimat-kalimat diatas terlihat sederhana namun mengandung nilai-nilai kebaikan yang tinggi. Bukan saja sekedar suara, namun disana ada do’a. Memang, ucapan “MITUPA NIA” dan “ELOO… MAI-MAI KOIYIO…” adalah dua kalimat yang tidak bisa disejajarkan dengan ucapan salam “assalamualaikum”, dan menjawab salam “waalaikumussalam”. Namun kedua kalimat diatas sama dalam arti memberi suara dan sama dalam arti do’a.

Kiranya perlu diperjelas lagi disini. Ketika ada warga yang sedang berjalan, lalu tidak ada kalimat apapun kepada warga yang sedang duduk maka bersiaplah untuk ditegur atau diingatkan oleh warga kampung, sebagaimana yang telah saya paparkan diatas. Namun, bisa saja terjadi adalah dihujam dengan kata-kata yang bisa membuat telinga menjadi panas. Setelah warga saling bertanya, “EMNA SEI ANAI” (itu anaknya siapa?). Kalimat “EMNA SEI ANAI”, adalah efek dari tidak adanya kalimat atau suara yang kita berikan. Karena itu, terkadang  digabung “EMNA SEI ANAI, TAU DIDIONI LAIDO” (itu anaknya siapa?. Mengapa, tidak ada suara sama sekali ya). Atau, “EMNA SEI ANAI”. “ADEKKE KAPALLO TAU EISTOM LAIDO” (seperti kapal yang tidak ada bunyi sirenenya), “WALAKE KOPULO TUADIUDO, TAU IKEKEWA SEI NIOLO”. (sama seperti kuburan lama, yang kita tidak tahu, siapa pemiliknya). Kalau saja ada warga yang mungkin penasaran, dia akan memanggil kita, dan akan measehati kita. “ANAU OLAUMA ENA, ETTI ADE SEI?” (anakku kesini sebentar, sebenarnya kamu ini siapa?) atau “ANAU OLAUMA ENA, SEI ANAI WAU WOM” (anakku kesini sebentar, siapa nama bapakmu?). Kalau saja bapak dan ibu yang kita sebutkan beliau kenal. Misalnya kita katakana.  “HAU AMAU WAU ALMARHUM….” (ayah saya buat al-marhum……(siapa, dan siapa)). Belum selesai, orang itu akan bertanya balik. “DJAELANI SANAKY SEI” (siapa Djaelani, atau Djaelani Sanaky yang mana?). diperjelas lagi, misalnya. “DJAELANI SANAKY BIN KASIM SANAKY, YANG PERNAH SIWATAI SE GEDUNG FILIM HATUKAU NIMUKA TANA”. Kalau saja penjelasan kita itu sudah cukup jelas, siapa orang tua kita, maka sudah dipastikan akan datang lagi kalimat-kalimat lain yang mengandung nasehat. Misalnya “AMAM DJAELANI TAU NI KALAKUANG WALAKE ADE TAU ANAU”. (bapakmu……..prilakunya sebagaimana kamu). Kalimat ini tentu tidak sepanas pertama, tapi cukup menjadikan kita sadar.

Kata-kata atau kalimat yang masuk dalam pembahasan kita ini sangatlah banyak. Sebagai contoh. “MAE IANE” (mari kita makan). Kalimat “MAE IANE” tidak sama dengan “MILAUMA IANE”.  (ayo, kesini kita makan). Kalimat “MILAUMA EANE” kalimat ini mengandung unsur perintah. Sedangkan kalimat “MAE IANE” (mari kita makan) adaah kalimat ajakan, yang bukan maksud sebenarnya. Sementara Kalimat “MILAUMA IANE”, (ayo kesini kita makan), biasa digunakan untuk memanggil agar bersegera makan. Jadi, kalimat “MAE IANE” adalah sebuah lontaran kalimat dari warga yang akan makan kepada saudaranya agar mau ikut makan bersamanya, namun bukan untuk makan yang sesungguhnya. Tapi sekedar buang suara, atau sekedar melontarkan kalimat ajakan. Dan sudah menjadi kebiasaan kita di Maluku, kita akan menjawab ajakan itu dengan mengatakan, Bismillah, saya sudah makan.

Yang lainnya sepert, “MAE IYOKO” (mari kita pulang). Kalimat ini sering penulis dengar dari warga yang pulang dari hutan dan menemukan saudaranya belum pulang maka akan keluar kalimat diatas. Kalimat “MAE IYOKO” Adalah tegur sapa yang baik. Terkadang diikuti kalimat-kalimat lain di belakangnya, seperti “MAE IYOKO, HUMOLO NIA”. (mari kita pulang, hari mulai gelap). “MAE IYOKO, TAU MIYOMI SALA”. (mari kita pulang, mengapa kalian belum pulang juga). Untuk di fahami lagi. Kalimat “MAE IYOKO” bukan benar-benar untuk mengajak pulang. Tapi sekedar lontaran kalimat dari orang yang akan pulang kepada saudaranya yang belum pulang. Berbeda dengan kalimat “EMMI TAU MIOMI SALA?”. (mengapa kalian belum pulang juga?). Kalau kalimat ini bukan sekedar buang suara lagi, akan tetapi lebih dari itu. Kalimat “MAE IYOKO” nyaman di telinga orang yang mendengar. Berbeda dengan “EMMI TAU MIOMI SALA”. Ini kalimat kesal, karena sudah di ajak, tapi tidak digubris.

Kalimat lain. “MA’I-MA’I” (baik-baik). Kalimat ini termasuk juga dalam pembahasan ini. Kalimat “MA’I-MA’I” penulis artikan dengan (baik-baik). Namun pada penggunaan yang lain, “MAI’I-MA’I” dapat diartikan (hati-hati). Jika mau ditelaah lebih dalam. Kalimat ini mengandung unsur do’a. Dari sisi mana?. Dari orang yang mengatakan “MA’I-MA’I”. Tentu saja kalimat ini tidak muncul begitu saja tanpa ada pemicunya. Misalnya ada yang mengatakan “HAU ETTI NAOI NI” (saya sudah siap pergi). Yang mendengar akan mengatakan “MAI’I-MA’I”. Kalimat ini memang sangat pendek, hanya enam huruf yang berulang, namun mengandung nilai kebaikan yang tinggi sekaligus sebagai Do’a dari orang yang ditinggal kepada yang sedang bepergian, karena itu, jangan heran kalau kalimat ini dipakai untuk melepaskan orang yang akan bepergian, baik jarak dekat ataupun jauh. Yang akan pergi mengatakan “ELOO… ”. (iya…). Wallahu ‘alam.